Ekor topan Iggy, yang menyapu 35 kabupaten di Jawa dan Bali
TEMPO.CO , Jakarta:Ekor topan Iggy, yang menyapu 35 kabupaten di Jawa dan Bali, telah menewaskan 14 orang dan melukai 60 orang lainnya. Sejak Rabu lalu angin ribut ini juga telah merusak 2.364 rumah. Posko Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat angin ribut terjadi di 35 kabupaten dan kota di Jawa dan Bali. Di antaranya Lebak, Tangerang, Kepulauan Seribu, Majalengka, Bandung, Situbondo, Blitar, Malang, Semarang, Sleman, Kediri, Jember, Pasuruan, Bangkalan, Tabanan, dan Denpasar.
Kini, ancaman topan Iggy telah mereda karena angin itu telah menjauh. “Pengamatan terakhir menunjukkan jaraknya 1.400 kilometer selatan Cilacap,” kata Kepala Sub-Bidang Informasi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Hary Tirto Djatmiko, Ahad 29 Januari 2012 kemarin.
Meski topan mulai menjauh, hujan deras dan angin kencang akan tetap berembus di sejumlah wilayah. Kecepatan angin berada di atas 35 kilometer per jam. Intensitas hujan antara sedang-lebat dan tinggi gelombang laut sekitar 3-6 meter. Yang akan benar-benar merasakan dampaknya adalah Sumatera bagian selatan, Bali, serta Nusa Tenggara.
Situasi ini dinilai aman bagi nelayan dan helikopter di ketinggian 1.500-3.000 meter. “Kecepatan angin pada ketinggian 1.500-3.000 meter sekitar 10-30 kilometer per jam.” Namun Hary mengimbau pilot dan nelayan untuk tetap berhati-hati dan memperhatikan cuaca.
Juru bicara Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Sutopo Purwo Nugroho, menjelaskan korban tewas tertimpa pohon tersebar dari Tabanan, Purbalingga, Kediri, Banyumas, Jakarta, Wonosobo, Ciamis, hingga Pasuruan. “Kerusakan rumah terparah di Kepulauan Seribu, Banyumas, Banjarnegara, dan Situbondo,” katanya dalam siaran pers.
Cuaca buruk juga mengganggu penyeberangan di Selat Sunda. Ribuan kendaraan tujuan Pulau Jawa terjebak macet karena kapal datang terlambat. »Kapal terhambat gelombang dan angin,” kata Manajer Operasional PT Indonesia Ferry, Heru Purwanto, Sabtu lalu.
Kendaraan menumpuk di area parkir pelabuhan seluas 24 hektare hingga 2 kilometer dari pintu gerbang pelabuhan. Sebagian sopir mengaku sudah tiga hari antre. Nakhoda memperlambat laju kapal. Waktu tempuh dari Bakauheni, Lampung, ke Merak, Banten, dan sebaliknya menjadi tiga hingga lima jam dari waktu normal dua jam.
Indonesia Ferry mengoperasikan 28 feri. Meski begitu, sejumlah feri tersebut hanya bisa melayani 74 perjalanan dari jumlah ideal 104 perjalanan. Idealnya, dalam sehari feri sebanyak itu bisa mengangkut sekitar 3 ribu kendaraan.
Kegagalan Kemendagri Picu Keengganan Warga Urus e-KTP
Laporan wartawan tribunnews.com : Adi Suhendi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA– Apabila warga yang merupakan wajib E-KTP pada Tahun 2011 tidak mengurus E-KTP sampai dengan 30 April 2012 maka sejak Mei 2012 harus membayar jika mengurus E-KTP.
Hal tersebut dikarenakan Pemerintah sudah tidak menanggung beban biayanya lagi, alias tidak gratis.
“Kebijakan ini tentu akan membebani warga serta menyebabkan keengganan warga untuk mengurus E-KTP,” ucap anggota Komisi II DPR RI Arif Wibowo seperti dalam siaran persnya yang diterima tribunnews.com, Senin (30/1/2012).
Padahal E-KTP merupakan kewajiban pemerintah serta sebaliknya merupakan Hak Warga. Bayangkan saja jika kebijakan tersebut dilaksanakan secara serius, maka di Kota Pekanbaru Provinsi Riau sebagai contoh, bakal ada 250 ribuan warga yang harus membayar E-KTP pada bulan Mei 2012, setiap E-KTP kurang lebih dihargai 30 ribu Rupiah. Sampai Januari ini, baru 36 persen dari 500 ribuan warga di Pekanbaru yang ber-E-KTP.
Dengan seperti itu, menurut Arif sungguh pemerintah, dalam hal ini Kemendagri RI telah tidak hati-hati dan tidak cermat dalam melakukan perencanaan, menambah beban daerah berikut jauh dari optimal dalam mengorganisasikan kegiatan pelayanan E-KTP untuk warga negara.
“Sebagian besar masalah sesungguhnya merupakan ketidakmampuan Konsorsium pelaksana teknis E-KTP sebagai pemenang tender, bahkan terkesan seenaknya dalam melaksanakan program nasional E-KTP,” ungkapnya.
Ironisnya justru Kemendagri terkesan kuat melindungi, dan bahkan menjadi bumper konsorsium pelaksana yang nyata-nyata gagal melaksanakan kegiatan penunjang E-KTP.
Untuk itu Komisi II DPR RI meminta kepada Mendagri RI untuk melakukan evaluasi secara sungguh-sungguh berdasarkan fakta-fakta obyektif yang berkembang dalam pelaksanaan E-KTP Tahun 2011 dan persiapan pelaksanaan E-KTP 2012.
Kemendagri tidak perlu mencari-cari dalih atau alasan yang manipulatif atas buruknya perencanaan, ketidakmampuan Konsorsium pemenang tender dalam menjalankan tugas tanggungjawabnya, lemahnya pengorganisasian kegiatan lapangan, kekurangsigapan aparat pemerintah daerah serta lemahnya kendali dan pengawasan.
Selanjutnya, Mendagri harus berani mengambil kebijakan yang tegas dan tanpa kompromi untuk memberikan sanksi, terutama kepada Konsorsium yang notabene penyebab sebagian besar masalah yang berakibat pada jauhnya pencapaian target pelaksanaan E-KTP untuk 67 Juta Warga negara di 197 kabupaten/kota pada tahun 2011,” ungkapnya.
JUMLAH KEKERASAN APARAT MENINGKAT
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kekerasan keamanan di Indonesia masih marak terjadi pada 2011. Dilihat dari kuantitas dan kualitasnya, bisa dikatakan meningkat dibanding tahun sebelumnya.
Aktivis Imparsial Pungki Indrati memaparkan, sepanjang 2011 terjadi 38 kasus kekerasan yang dilakukan aparatur keamanan terhadap warga sipil.
Dalam catatan Imparsial, jumlah 38 kasus ini hanya yang mengemuka dan menjadi sorotan masyarakat luas.Realita di lapangan jauh lebih besar dari apa yang mengemuka di media massa dan yang menjadi sorotan masyarakat.
“Sedikitnya terjadi 29 kasus aparat kepolisian yang menunjukan brutalitas aparat dalam pelaksanaan tugasnya,” ujar Pungki dalam siaran pers kepada Republika, Senin (30/1).
Kasus Mesuji di Lampung, pada 10 November maupun kekerasan di Bima pada 24 Desember, serta tewasnya pedagang angkringan saat satuan Densus 88 menggerebek kawanan teroris di Kampung Dukuh, Desa Sanggrahan, Grogol, Sukoharjo, pada 17 Mei menunjukan ironi tersebut. ” Aparat semakin tidak terkendali dalam menjalankan tugas di lapangan,” kritik Pungki.